Home / Berita Geologi / Peta Geologi dari Sabang sampai Merauke

Peta Geologi dari Sabang sampai Merauke

PETA GEOLOGI DARI SABANG SAMPAI MERAUKE

Indonesia yang diapit oleh dua lempeng besar, memiliki kondisi geologis yang komplek dan unik. Di negeri ini bencana dan anugerah menjadi satu karena faktor geologi. Bencana seperti tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami adalah peristiwa geologi. Anugerah berupa kesuburan alam, kekayaan sumber daya alam berupa mineral dan migas, juga karena proses geologi.

Hampir seluruh aktivitas pembangunan fisik di Indonesia juga tak lepas dari aspek geologi. Pembangunan jalan, jembatan, bendungan, gedung dan perumahan, mau tidak mau harus melalui analisis geologi yang profesional untuk menghindari terjadinya bencana yang memakan korban.  Perencanaan pembangunan wajib menyertakan kajian geologi agar pembangunan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dan aman bagi masyarakat.

Mengingat posisinya yang krusial tersebut maka kebutuhan informasi geologi dasar berupa peta geologi sangat diperlukan. Karena itulah Badan Geologi selama lima tahun terakhir berjibaku menuntaskan pembuatan peta geologi dengan skala 1:50.000.  Sebagaimana lagu perjuangan ciptaan R. Suhardjo berjudul ‘Dari Sabang Sampai Merauke’, maka peta geologi dengan skala besar itu pun sudah meliputi seluruh Indonesia, dari Aceh sampai Papua.

‘’Total jumlah peta 3.774 lembar,’’ kata Ipranta, kepala Bidang Sarana Program dan Kerjasama pada PSG (Pusat Survei Geologi) kepada Berita IAGI, Desember silam. Jumlah peta tersebut sesuai dengan indeks peta Indonesia skala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) –dulu Bakosurtanal. Peta ini sekaligus pembaruan dari peta geologi yang sebagian masih dalam skala 1:100.000 dan 1:250.000, khususnya yang di Indonesia timur.

Pembuatan peta geologi ini boleh dibilang kerja raksasa yang supercepat. Mulai dari perencanaan sampai selesai memakan waktu lima tahun, terhitung dari 2010. Setiap tahun ditargetkan sekitar 740 lembar. Tak kurang 20 orang terlibat dalam pembuatan, mereka terdiri atas lima dari geodesi (yang mengerti kartografi, data base serta proses citra satelit), empat ahli geologi yang paham tentang proses remote sensing dan basis data, serta 11 orang ahli geologi.

Peta-Geologi-web

“Dalam menyusun peta geologi ini, Indonesia patut berbangga karena dilakukan dalam waktu yang tergolong cepat, sekitar lima tahun, dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah keilmiahan yang ada. Jika dibandingkan dengan negara lain, ini tergolong cepat sekali. Ini perintah Presiden,’’ kata Kepala Badan Geologi Ego Syahrial saat merilis peta tersebut di Bandung Desember silam.

Mengapa peta ini perlu disegerakan sampai ada perintah Presiden? Menurut Ipranta karena kebutuhan peta geologi dalam skala tersebut sudah menjadi tuntutan jaman. Selain itu, peraturan perundangan menuntut pula dibuatnya peta dengan skala tersebut untuk kebutuhan seperti mendukung Tata Ruang tingkat Kabupaten atau kota dan peruntukan yang lainnya baik yang terkait dengan kebencanaan maupun sumberdaya alam.

Peta geologi yang tersaji dalam bentuk dijital ini merupakan hasil kombinasi antara  interpretasi inderaan jauh dan pengamatan singkapan langsung di lapangan.  Data dari lapangan tersebut dilakukan –khususnya– oleh Pusat Survei Geologi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi/direktorat geologi). ‘’Jadi peta dari hasil interpretasi citra inderaan jauh itu disempurnakan dengan penambahan data lapangan yang disusun sesuai petunjuk teknis,” kata Ego Syahrial.

Jika bicara tentang cek lapangan, menurut Ipranta, berarti terhitung dari saat berdirinya institusi geologi, bahkan di jaman Belanda. Karena titik-titik pengamatan lapangan merupakan kumpulan dari hasil pengamatan lapangan pada masa lalu sampai saat ini. Jika hitungannya begitu, maka jumlah orang yang turun ke lapangan tak kurang dari 400-500 orang.

Pembuatan peta kali ini memang merupakan bagian dari sejarah pemetaan geologi yang dimulai pada 1921. Saat itu pemetaan geologi lebih banyak dimanfaatkan untuk menemukan bahan tambang dan galian. Mengutip situs Badan Geologi, sejarah pemetaan geologi di Indonesia dibagi menjadi empat periode:

  • Periode I: Antara 1921-1968. Pemetaan dilakukan secara setempat-setempat terutama di wilayah Jawa dan Sumatera.
  • Periode II: Dari tahun 1969 sampai 1995. Pemetaan Geologi dilakukan secara sistematik pada skala 1: 100.000 untuk wilayah pulau Jawa dan 1:250.000 untuk wilayah Pulau Jawa.
  • Periode III: Antara tahun 1996 sampai 2008, pemetaan geologi sudah dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan yang juga mendukung pelaksanan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan juga mendukung pelaksanaan geologi tematik.
  • Periode IV: Dari tahun 2009 sampai saat ini pemetaan dilalkukan dengan pemantapan dengan teknologi penginderaan jauh resolusi tinggi untuk melakukan pemetaan dengan skala yang lebih besar 1:50.000.

Kepentingan Nasional

Dari sisi kepentingan pembangunan nasional, peta geologi ini dipandang strategis karena berposisi sebagai penunjang dan pendukung program pembangunan di suatu wilayah yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Peta geologi yang menyajikan beragam informasi berupa jenis dan sebaran batuan, struktur, morfologi dan kemiringan lereng, kerentanan tanah, serta runtunan variasi batuan misalnya, sangat diperlukan untuk bekal pengambilan keputusan pengembangan wilayah.

Dalam hal kebencanaan, peta geologi ini akan berperan besar dalam mengantisipasi jatuhnya korban. Pada bencana longsor misalnya, jika pemerintah daerah memiliki peta geologi berikut data geologi yang baik, akan terlihat daerah yang berpotensi longsor untuk kemudian menginformasikan ke masyarakat di kawasan berisiko tinggi. Karena itu seyogyanya setiap Pemda memiliki ahli geologi agar bisa menerjemahkan peta tersebut.

Tak terkecuali, peta geologi ini juga bermanfaat untuk menjadi bekal awal dalam menganalisis keberadaan sumber daya alam, baik itu berupa air, mineral pertambangan, maupun sumber energi seperti geothermal, minyak, dan gas.

Ipranta mengakui bahwa peta yang dibuat berdasarkan citra satelit masih banyak keterbatasan, karena itu Badan Geologi terus melakukan pemutakhiran data dan informasi. Meski begitu setidaknya dalam dari peta geologi ini bisa diketahui sebaran batuan, lewat gambar  3 Dimensi juga bisa melihat lembah dan gunung, struktur geologi (lipatan, sesar, maupun kelurusan) sebagaimana layaknya peta geologi, dan tentu juga terlihat pola drainase, tekstur dan sebagainya.

Hal senada dikatakan Sukmandaru Prihatmoko, praktisi pertambangan yang juga ketua umum IAGI. Peta geologi yang berdasarkan interpretasi indera jarak jauh itu mesti diperlakukan sebagai peta pendahuluan. ‘’Peta tersebut perlu di-upgrade terus dengan data-data lapangan riil agar bisa dimanfaatkan di sektor riil baik eksplorasi, pembangunan infrastuktur, mitigasi bencana, maupun kepentingan lain,’’ katanya.

Disadari bahwa itu upgrade terus menerus membutuhkan waktu dan biaya besar. Karena itu perlu terobosan misalnya bekerja sama dengan perguruan tinggi dengan memanfaatkan data dari tesis mahasiswa yang melakukan pemetaan lapangan. Menurut Sukmandaru, selama ini hasil pemetaan mahasiswa untuk tesis hanya menghiasi rak-rak perpustakaan dan tidak termanfaatkan. ‘’Mungkin cara itu bisa lebih efektif dan efisien.’’ sumber

 

About Heriyanto Heriyanto

Leave a Reply

Your email address will not be published.